Pagi saat istrinya tak lagi bangun dari tidur, ia menunggu cukup
lama di samping perempuan tua itu. Biasanya, istrinya selalu bangun
lebih dulu. Menyiapkan sarapan, sedikit berdandan, lalu jika perempuan
tersebut sedang ingin memanjakan suaminya, ia akan membawa sarapan ke
atas kasur. Membiarkan aroma harum kopi susu menguar ke hidung lelaki
terkasihnya dan membuatnya terjaga.
Ranjang adalah tempat favorit
keduanya. Tak hanya tempat mereka tidur, tetapi juga tempat panas saat
terbakar asmara, hingga saat tubuh keduanya tak lagi perkasa dan ranjang
menjadi dingin dan keduanya memindahkan televisi ke dalam kamar sebagai
hiburan juga tumpukan buku sebagai bacaan. Ada satu yang tak pernah
berubah, mereka tak pernah bosan berpegangan tangan.
Tiga puluh
tujuh tahun, dan tak satu anak pun yang lahir dari rahim sang istri.
Mereka sudah melewati tahun-tahun saat perempuan tua itu mengutuki
dirinya sendiri. Ada saat sang istri tak hendak melepas genggaman
suaminya, mengikuti ke mana pun lelaki itu pergi. Kekhawatirannya akan
kemungkinan lelaki itu berpaling ke perempuan yang lebih muda -dan lebih
subur- sempat membuncah. Toh lelaki itu tetap membiarkan istrinya
menggenggam tangannya, membuat cincin kawin keduanya beradu, menjadikan
tangan mereka basah keringat, dan lelaki itu justru lebih erat lagi
menggenggam tangan istrinya.
Tahun-tahun berlalu, mereka sedikit
demi sedikit mengubur impian purba mereka. Tak ada anak. Selanjutnya,
entah dari mana atau kapan atau bagaimana tepatnya, rumah mungil mereka
telah penuh dengan kucing. Padahal dulu, mereka selalu berpikir bahwa
bulu kucing tak baik bagi pernapasan anak. Kini kucing-kucing betah
berkumpul di rumah itu. Tak satu pun kucing yang datang diusir, semua
bebas datang.
"Aku akan berlangganan susu lebih banyak untuk kucing-kucing itu," ujar sang istri pada suatu hari.
Dan,
hingga pagi saat perempuan itu tak lagi bangun dari tidurnya, tukang
susu masih mengantar dua krat susu segar dalam botol yang ia letakkan di
depan pintu. Kucing-kucing juga masih mengeong seakan menuntut minuman
pagi mereka. Sang suami juga masih menunggu istrinya bangun. Matahari
menyelipkan sinarnya, menjatuhkan terangnya ke wajah perempuan tua itu.
Lelaki
itu merasa damai melihat wajah istrinya. Ada rasa syukur yang menyelip
di hatinya karena memiliki perempuan itu dalam hidupnya dan ia tak ingin
berpisah. Tapi lama ia menunggu, perempuan itu tak kunjung membuka
mata, sedang kucing-kucing mengeong semakin santer menuntut susu mereka.
Maka digenggamnya tangan perempuan itu. Dingin menjalar di antara
tangannya yang keriput.
Lelaki itu tersentak. Ia mulai curiga,
ada yang salah pada perempuan terkasihnya. Kemudian dia mengguncangkan
tubuh tak bernyawa itu dengan lembut. Tetapi ia tak kunjung bangun, ia
mengguncang tubuh perempuan itu lebih keras. Tetapi mata tuanya tetap
tak terbuka. Lalu disentuhnya wajah istrinya, dingin kembali menjalar di
antara kulitnya yang tak kenyal. Ia tak merasakan napas dari hidung
istrinya. Saat itulah dia tahu, bahwa di rumah itu kini tinggal dirinya
dan kucing-kucingnya. Tangisnya pecah.
Pagi saat lelaki tua itu
tahu bahwa istrinya telah meninggal dalam tidurnya dan tak hendak bangun
lagi, ia memeluk erat-erat tubuh perempuan itu. Dia menangis hebat
sambil tak henti memanggil-manggil nama istrinya. Kucing-kucing terus
mengeong-ngeong, seperti mencoba membangunkan tuannya.
Menjelang
siang, lelaki itu keluar dari kamarnya. Mengamati ruangan yang kini
terasa kosong. Kucing-kucing bersebaran di sekitar ruangan. Tak ada kopi
susu hangat, tak ada telur orak-arik, tak ada istrinya. Sejenak, dua
jenak, beberapa jenak, lelaki itu bingung akan apa yang musti
dilakukannya kini. Ia baru menyadari, bahwa selama ini istrinyalah yang
mengurus dirinya. Membuatkan makanan, mengingatkannya untuk segera
mandi.
Kini dia betul-betul tak tahu apa yang akan dilakukannya.
Dilihatnya istrinya, yang masih dengan gaun tidur dan tergeletak dengan
mata terpejam di ranjang. Ia berpikir keras, ia belum pernah menangani
orang mati. Lalu menghampiri istrinya dan menggenggam tangan dingin
perempuan itu, menyiumnya berkali-kali, menangis lagi.
Lelaki itu
akhirnya memutuskan akan meminta tolong seseorang. Ia ganti baju,
keluar rumah. Dilihatnya kucing-kucing berkumpul di depan pintu masuk.
Salah satu kucing sudah menjatuhkan botol susu hingga pecah dan mereka
mengerumuminya, menjilatinya.
Lelaki itu akan keluar dan minta
tolong seseorang, tetapi pertama-tama ada yang harus dia lakukan
terlebih dulu karena tak mungkin dia sanggup bepergian sendirian. Selama
ini dia selalu bepergian dengan istrinya, saling berpegangan tangan.
Dia menuju gudang. Mengambil gergaji mesin lalu kembali ke kamar.
"Sayang,
kita harus keluar dan cari pertolongan," katanya. Ruangan gemuruh suara
gergaji mesin saat lelaki itu menekan tombol 'on'. Diraihnya lengan
kanan istrinya, jari manisnya masih berhias cincin perkawinan. Lelaki
tersebut mulai menggergaji tangan istrinya tepat di siku. Ia -dan lengan
istrinya- kini siap pergi keluar mencari pertolongan untuk menangani
orang mati.
Ia meninggalkan kucing-kucing dan rumah yang pintunya
tak dikunci. Bahkan jendela-jendela pun belum dibuka tirainya. Jujur
saja, lelaki itu tak benar-benar tahu ke mana ia akan pergi. Ia hanya
tahu, bahwa ia harus pergi dan minta tolong orang lain untuk mengurus
kematian.
"Sayang, kita akan ke mana?" tanyanya pada lengan istrinya.
"Aku tahu, kita ke rumah adikmu saja, ya?"
Saat
dia tiba, anak-anak adik iparnya yang tadinya hendak menyambut
kedatangannya dengan ceria, tiba-tiba berteriak keras dan masuk ke rumah
menemui ibunya, mengadu bahwa paman mereka datang membawa sepotong
tangan.
Lelaki itu terpaksa memencet bel berkali-kali agar
dibukakan pintu. Mendengar anak-anaknya mengadu demikian, adik ipar
membawa pentungan sambil membuka pintu. Ia mengintip sejenak dari
jendela. Memang betul apa yang dikatakan anak-anaknya: paman mereka
datang dengan membawa sepotong tangan.
Pintu dibuka, adik ipar gemetar, "A... ada apa?"
Ia
menyembunyikan pentungan di balik punggungnya. Anak-anaknya mengintip
dari ruang sebelah. "Tolong, istriku meninggal. Bisakah kau bantu
menguburnya?" ia memohon sambil menangis. Tangannya tak lepas
menggenggam lengan istrinya.
Demi melihat pemandangan itu,
perempuan itu berteriak keras-keras seraya memukul-mukulkan pentungannya
ke arah yang tak menentu. Lelaki itu kebingungan. Keributan terjadi.
Orang-orang berkumpul, semua tersentak melihat pemandangan: laki-laki
tua pingsan dengan sepotong tangan tergeletak di sebelahnya.
Saat
tersadar, lelaki itu sudah berada di kantor polisi. Para wartawan
mengerumuninya. Mereka memberitahunya bahwa mayat istrinya. Mereka telah
memeriksa rumahnya dan menemukan mayat istrinya tergeletak tanpa tangan
kanan. Wartawan bahkan sudah menyiapkan berita: 'Seorang Kakek Memotong
Tangan Kanan Istrinya Hingga Tewas.' Sebuah berita pembunuhan.
"Tidak!"
sanggahnya, "aku memotong lengan istriku saat ia sudah meninggal karena
aku harus cari pertolongan." Air matanya menetes.
"Lalu kenapa kamu tak pergi sendiri? Kenapa harus memotong tangan istrimu segala?"
Introgasi itu berlangsung melelahkan. Polisi mengetik setiap pengakuannya.
"Aku
selalu ke mana-mana dengan istriku. Aku tak tahu apa yang harus
kulakukan tanpa dia. Karena membawa mayat sangat berat, dan aku tak
ingin menakut-nakuti orang, maka aku membawa tangannya saja," jelasnya.
Keluarga
besar mendiang istrinya tak percaya pada penjelasannya yang terdengar
aneh. Mereka menangis keras-keras atas kematian anggota keluarga mereka
yang tragis, dan merasa kasihan atas kemalangan perempuan itu, sebab
telah menikah 37 tahun dengan laki-laki gila.
"Aku tidak gila!"
lelaki itu menyanggah. "Aku hanya ingin memakamkan istriku dengan layak
tapi tak tahu harus berbuat apa. Aku bingung tanpa istriku," wajahnya
sangat sedih, air matanya mengalir. Orang-orang tetap tak percaya.
Seorang
petugas polisi memasuki ruangan, membawa hasil otopsi, untuk dibacakan
di depan semua. Tiba-tiba, seorang gadis kecil, keponakan lelaki itu,
maju ke kerumunan dan bertanya, "Paman, kenapa paman memotong tangan
bibi? Sekarang bibi jadi meninggal."
Semua wartawan
memerhatikannya. Mengarahkan kamera dan mikrofon ke gadis kecil itu.
Gadis itu adalah anak terkecil adik iparnya yang paling muda.
"Aku
tidak memotong tangannya sebelum dia meninggal, Nak. Tak mungkin aku
tega berbuat begitu. Aku sangat menyintai bibimu. Aku memotongnya
setelah dia meninggal."
"Kenapa dipotong?" tanyanya lugu.
"Karena
aku tak bisa hidup tanpa dia, Nak. Aku tak tahu apa yang harus
kuperbuat tanpa dia. Aku tak mungkin pergi cari bantuan dengan membawa
mayatnya, terlalu berat untukku. Maka aku memutuskan untuk membawa
tangannya saja. Sebab, aku butuh kekuatan dari perempuan yang sangat
kucintai. Aku ingin menggenggam tangannya agar aku kuat."
Ruangan
henyap. Tak ada yang berbicara, tak terdengar mesin ketik berbunyi, tak
terdengar suara kamera memotret. Keponakan kecil itu memandangi
pamannya, dan berkata, "jika aku punya suami kelak, aku ingin yang
seperti paman."
Lalu, terdengar bisik-bisik suara hati di ruangan itu: Ya, aku ingin laki-lakiku memotong tanganku
#kutipancerpen
No comments:
Post a Comment